Dibuang Sayang : Hasil Karyaku yang Tak Laku
Salam Jumpa Sobat-sobat ku Semua...
Artikel kali ini membahas tentang sebuah hasil karya Asli Made In Sendiri yang pernah coba saya kirim ke sebuah Surat Kabar Nasional berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur.Dan alhasil setelah ditunggu-tunggu hampir 9 bulan10 hari tak kunjung diterbitkan karena mungkin sama bagian editornya dinilai terlalu tidak layak alias jeleknya minta ampun kayak yang nulis.
Ketika itu di awal Bulan ketiga Tahun ini, sebelum punya Netbook dan kenal Dunia Blogging Juga, disela-sela kesibukan kerja di luar kota, Waktu Nganggur malem-malem sambil Ngelamun dan membayangkan yang indah-indah(yang jelek buang jauh-jauuuuuh), terciptalah Sebuah Coretan yang saya anggap ini adalah Cerpen.
Mau tau Mau tau Mau tau gimana Cerpen nya??'iiih gak mutu,jelek bgtt' "biarin penting bisa nongol disini Weeek, daripada gak ada ide buat postingan hayo' "ya dah lah terserah..."
Yuk dibaca bareng-barengtetangga dan Pak Lurah.
Seperti Kemarin..
Embun pagi telah terusir, remang-remang pun hilang digilas pancaran terik yang menerobos pintu Fajar. Awan-awan mulai berarak berbaris apik. tatap mataku nanar, namun ragaku tetap bergerak mengikuti irama rutinitas, melakukan hal yang sama, dibawah petak langit ini pula. Seperti Kemarin.
Ku bersorak tanpa suara, saat kulihat belahan jiwaku datang bersama bayi mungilku. Aku tak ingin hanya mengintip, aku akan lari menyambut dan memeluk mereka. Namun Ahh,.. lagi-lagi mataku tertipu untuk yang kesekian kalinya.
Hentakan Sipir menyeret langkahku untuk mundur ke balik pagar. Memang bukan giliranku dijenguk, ..setidaknya belum saat nya. Aku hanya menepi, mengintip kembali lalu-lalang pembesuk di Aula depan, tetap menunggu penuh harap, seperti biasa. Seperti hari-hari kemarin.
Senja beranjak pekat, saatnya ayam-ayam pulang ke kandang, meski belum puas berkeliaran dalam pekarangan. Saat kembali ke dunia yang lebih sempit, bertenda jeruji dan tembok menjulang. Neraka dunia Fana..
Pondok kami, Bui, jajaran ruang yang bersekat lidi-lidi besi, dimana tiap petak beranggotakan insan-insan yang tak saling mengenal, yang datang tanpa diundang. Tiket kesalahan aneka ragam mempertemukan kami semua disini, dalam satu atap, satu ruang, tanpa privasi.
Hiruk pikuk mulai membahana malam ini, dengan topik yang tak jauh beda dari malam-malam sebelumnya. Seperti halnya dalam petak yang kudiami, Untaian keluh kesah, komat-kamit mantra doa, Gelak tawa palsu dibalik nestapa, membaur menjelma menjadi gema, menerobos keluar melalui sela jari-jari besi. Diluar sana, para katak bersorai sepanjang malam seolah menertawakan kami. Ku mencoba ikut larut dalam suasana, dengan jerit pilu yang kugenggam erat dalam jiwa.
Madun mendekat mencari celah disamping bahuku, menggusur Pak Tua yang sedari tadi berupaya mengocok perut. Aku dan Madun sebaya, datang dengan tiket yang berbeda, kami bersaudara akrab bagai kawan lama. tak seperti biasa, tak terlihat guratan di pipi Madun yang keseringan bercanda. kali ini dengan tatapan serius mantan buronan itu bertanya kepadaku.
"Ada kabar dari Istrimu,?"
"Sudah melahirkan,?"
"Sudah." jawabku lirih.
"Aku dengar dari Pak sipir yang ditelepon Mertuaku tadi." suaraku melemah, senyum di raut pun tak lagi dapat kurasa.
"laki-laki kah,?"
Aku mengangguk perlahan, mencoba menguatkan hati, membendung kecamuk jiwa, namun tetap juga mataku berkaca.
"Mestinya aku tak disini....," bibirku bergetar,
"Tapi apa daya,tak ada pilihan."
"Semua yang ada disini merasakan hal yang sama, Kawan.." Madun mencoba meredam, menepuk-nepuk halus pundakku.
"Ini lain.., Janur kami belum layu betul,betapa tega dan bodohnya aku...," mulutku kaku, nafasku berkejaran membendung buliran disudut mata.
"Sudahlah..., Doamu pasti dah sampai ke rumahmu, meski kau tak ikut antar kesana,"
"Ngomong-ngomong.., Kau naikkan apa Doamu tadi,?"
"Bus atau Kereta,?"
"Ha..ha..ha..ha..ha.." kelakar Madun menjadi-jadi, hingga gigi-gigi kami sulit bersembunyi, merangkai kembali canda pengusir sepi.
Suasana mulai senyap, Madun baru saja pamit merebahkan diri untuk memulai ritual tidurnya. Lantai tempat kami berpijak hampir tak terlihat lagi, tertimbun raga-raga pasrah, berbaris bertumpuk terlentang, bagai ikan asin yang tertata di keranjang, sgala titel mantan Lurah, mantan maling, mantan pegawai, membaur menjadi satu dan tak berguna dalam Dunia yang Hilang ini. Hanya satu dua yang terlihat bercengkerama lirih menunggu datangnya lelap.
Seperti halnya aku, dengan menyebut Nama-Nya ku bersiap menuju alam mimpi, saat-saat indah dalam Pondok kami, saat mata terpejam sejenak, melepas segala beban, berlari menari dalam indah imaji, sebelum dentang fajar membuka realita. Seperti kemarin.
Ditengah terik kami semua berkeliaran, seperti kumpulan ternak yang berputar-putar dalam areal berpagar, mencari kesibukan tak berguna atau juga merenungi keadaan, menanti saat kami diberi makan atau dipanggil ke Aula depan jika ada sanak yang bertandang.
Madun memanggilku yang sedang sibuk berkeliling mencari dan memunguti sisa-sia potongan tembakau disekitar beranda kamar. Aku pun bergegas mendekat. Kulihat wajahnya begitu berbinar sambil menenteng sebungkus yang agak berat juga rupanya.
"Mak dan Istriku datang," katanya bersemangat
"Kau dapat banyak hari ini,?" tanya Madun sambil terus berjalan menuju tengah kamar. kami pun duduk berhadapan.
"Lumayan lah, digulung lagi bisa jadi empat batang." kataku sambil membuka genggam kiri yang hampir penuh sisa-sisa puntung itu.
"Makan enak nih kita hari ini, skali-skali bukan lagi nasi bau apek" bungkusan itupun dibukanya, terlihat gunungan-gunungan kecil berbalut daun pisang beraroma nasi punel yang menggiurkan, aroma yang langka di Pondok kami.
"Aku nasi jagung nya, resep khusus dari mak, kamu yang nasi putih."
"Boleh-boleh..., Es teh nya mana,?"
"Ketinggalan di Warkop." Madun asal jawab sambil gigi-ginya terus bekerja dengan penuh semangat.
Kami berdua tertawa riang, didukung beberapa penghuni lain yang tanpa dikomando langsung mendekat, jongkok, dan ikut berpartisipasi melahap hidangan super lezat di siang itu.
Waktu terasa kian lambat bergulir dan mengikisku dalam Dunia yang hilang ini. Dalam penantian dan harapan,sebuah konsekuensi yang harus kujalani, hukuman akibat perbuatan, yang menyeretku ke dalam lembah yang tak mengenal lagi harga diri, merasakan kepedihan, terasing dari gemerlap dunia luar, berkecimpung dalam wadah hitam yang dipenuhi kenistaan, uang berpengaruh besar disini, meskipun kami semua tak mampu lagi mencarinya, hanya mengharap dan merepotkan sanak keluarga untuk terus mengeluarkan biaya, sekedar menjenguk saja harus sedia biaya, betapa tidak, tiap menit yang dihabiskan agar kami dan sanak keluarga bisa bertemu di Aula depan terus menambah jumlah angka rupiah bak Speedo Argo taksi yang sedang berjalan, segelintir perilaku petugas penegak keadilan yang mata duitan semakin menambah beban kami dengan berbagai pungli nya, belum lagi harga sabun, rokok ataupun kebutuhan sepele sehari-hari yang disediakan kantin koperasi melipat-lipat naik ke puncak daripada harga pasaran diluar sana. Kesehatan ? jauh-jauh sudah dari kata sehat, klinik yang disediakan ala kadarnya, yang sakit batuk ataupun sakit perut obatnya sama, obat jatah. Apa mau dikata, inilah fungsi Penjara didirikan sejak dulu kala, sebagai peringatan agar yang terlanjur salah jalan tak lagi mengulanginya.
Mengapa aku sampai di tempat ini? sesuatu yang tak pernah terbayang sekalipun sebelumnya. Saat diriku terjepit dalam posisi serba rumit, orang tua ku yang papah di kampung menggantungkan sebagian beban hidup mereka kepadaku yang baru saja menjalin bahtera rumah tangga. Siapa yang patut disalahkan? Tidak ada, cukup aku yang berbuat salah, salah jalan, menggelapkan dana perusahaan tempat ku mencari nafkah demi memberi setetes balas budi kepada bapak ibu dan adik-adik ku yang hidup serba kekurangan. Apakah mereka tahu yang kuberikan kepada mereka adalah uang haram? mereka tidak tahu.. bahkan mereka tidak pernah meminta.. hanya aku yang terlalu iba mendengar keluh kesah mereka, meski aku sendiri sebenarnya tak mampu menyisihkan sebagian gaji ku untuk membantu mereka.
Di sisi lain belahan jiwaku sedang menikmati masa-masa indah menanti kehadiran malaikat kecil kami.
Aku pasrah dengan rentetan proses hukum yang menjejaliku. Megah ruang sidang jadi saksi bisu saat seorang perempuan muda dengan perut membuncit menjadi penonton setia tiap kali aku duduk di kursi pesakitan, episode demi episode. Perempuan yang tahun kemarin berharap banyak agar aku bisa membahagiakan hidup dengan mendampinginya. Nasi sudah menjadi bubur, Ketuk palu hakim menjadikan perempuan itu menanti lahirnya jabang bayi seorang diri, lara antara hidup dan mati, tanpa aku, seorang suami yang tak berbudi.
Pondok kami, persinggahanku dalam pencarian jati diri, tempat merenungi segala kekhilafan, berupaya menjadi putih kembali. Telah kulahap pahit getir sepenggal kisah hidupku disini. Bersama ratusan wajah-wajah yang pernah khilaf pula, aku mencoba bersyukur, masih ada esok, esok yang lebih cerah. Tak Seperti Kemarin.
Kuucapkan selamat tinggal kepada segenap beban, kawan-kawan sepersinggahan, para abdi negara yang menjalankan kewajiban.
Pondok kami, yang telah menempa bathin dan mental serta sebingkai pelajaran.
Aku tak kan lagi tinggal, hingga sepantasnya kalian semua kutinggalkan. Menuju hari esok yang lebih baik dalam hidupku yang normal. Dimana aku bersumpah tak kan kuketuk lagi pintu Pondok kami.
Seperti Kemarin.
Seperti Kemarin, saat aku berjumpa denganmu kawan....
Weleh-weleh-weleh gak nyangka pas disalin disini panjang nya jadi kayak gini...
Nah selesai sudah saya menyalin hasil karya yang dibuang sayang, disimpan juga enggan.
Kurang lebihnya saya mohon maaf bila artikel kali ini kurang bermanfaat bagi Sobat-sobat ku yang mampir disini...
Artikel kali ini membahas tentang sebuah hasil karya Asli Made In Sendiri yang pernah coba saya kirim ke sebuah Surat Kabar Nasional berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur.Dan alhasil setelah ditunggu-tunggu hampir 9 bulan
Ketika itu di awal Bulan ketiga Tahun ini, sebelum punya Netbook dan kenal Dunia Blogging Juga, disela-sela kesibukan kerja di luar kota, Waktu Nganggur malem-malem sambil Ngelamun dan membayangkan yang indah-indah
Mau tau Mau tau Mau tau gimana Cerpen nya??
Yuk dibaca bareng-bareng
Embun pagi telah terusir, remang-remang pun hilang digilas pancaran terik yang menerobos pintu Fajar. Awan-awan mulai berarak berbaris apik. tatap mataku nanar, namun ragaku tetap bergerak mengikuti irama rutinitas, melakukan hal yang sama, dibawah petak langit ini pula. Seperti Kemarin.
Ku bersorak tanpa suara, saat kulihat belahan jiwaku datang bersama bayi mungilku. Aku tak ingin hanya mengintip, aku akan lari menyambut dan memeluk mereka. Namun Ahh,.. lagi-lagi mataku tertipu untuk yang kesekian kalinya.
Hentakan Sipir menyeret langkahku untuk mundur ke balik pagar. Memang bukan giliranku dijenguk, ..setidaknya belum saat nya. Aku hanya menepi, mengintip kembali lalu-lalang pembesuk di Aula depan, tetap menunggu penuh harap, seperti biasa. Seperti hari-hari kemarin.
Senja beranjak pekat, saatnya ayam-ayam pulang ke kandang, meski belum puas berkeliaran dalam pekarangan. Saat kembali ke dunia yang lebih sempit, bertenda jeruji dan tembok menjulang. Neraka dunia Fana..
Pondok kami, Bui, jajaran ruang yang bersekat lidi-lidi besi, dimana tiap petak beranggotakan insan-insan yang tak saling mengenal, yang datang tanpa diundang. Tiket kesalahan aneka ragam mempertemukan kami semua disini, dalam satu atap, satu ruang, tanpa privasi.
Hiruk pikuk mulai membahana malam ini, dengan topik yang tak jauh beda dari malam-malam sebelumnya. Seperti halnya dalam petak yang kudiami, Untaian keluh kesah, komat-kamit mantra doa, Gelak tawa palsu dibalik nestapa, membaur menjelma menjadi gema, menerobos keluar melalui sela jari-jari besi. Diluar sana, para katak bersorai sepanjang malam seolah menertawakan kami. Ku mencoba ikut larut dalam suasana, dengan jerit pilu yang kugenggam erat dalam jiwa.
Madun mendekat mencari celah disamping bahuku, menggusur Pak Tua yang sedari tadi berupaya mengocok perut. Aku dan Madun sebaya, datang dengan tiket yang berbeda, kami bersaudara akrab bagai kawan lama. tak seperti biasa, tak terlihat guratan di pipi Madun yang keseringan bercanda. kali ini dengan tatapan serius mantan buronan itu bertanya kepadaku.
"Ada kabar dari Istrimu,?"
"Sudah melahirkan,?"
"Sudah." jawabku lirih.
"Aku dengar dari Pak sipir yang ditelepon Mertuaku tadi." suaraku melemah, senyum di raut pun tak lagi dapat kurasa.
"laki-laki kah,?"
Aku mengangguk perlahan, mencoba menguatkan hati, membendung kecamuk jiwa, namun tetap juga mataku berkaca.
"Mestinya aku tak disini....," bibirku bergetar,
"Tapi apa daya,tak ada pilihan."
"Semua yang ada disini merasakan hal yang sama, Kawan.." Madun mencoba meredam, menepuk-nepuk halus pundakku.
"Ini lain.., Janur kami belum layu betul,betapa tega dan bodohnya aku...," mulutku kaku, nafasku berkejaran membendung buliran disudut mata.
"Sudahlah..., Doamu pasti dah sampai ke rumahmu, meski kau tak ikut antar kesana,"
"Ngomong-ngomong.., Kau naikkan apa Doamu tadi,?"
"Bus atau Kereta,?"
"Ha..ha..ha..ha..ha.." kelakar Madun menjadi-jadi, hingga gigi-gigi kami sulit bersembunyi, merangkai kembali canda pengusir sepi.
Suasana mulai senyap, Madun baru saja pamit merebahkan diri untuk memulai ritual tidurnya. Lantai tempat kami berpijak hampir tak terlihat lagi, tertimbun raga-raga pasrah, berbaris bertumpuk terlentang, bagai ikan asin yang tertata di keranjang, sgala titel mantan Lurah, mantan maling, mantan pegawai, membaur menjadi satu dan tak berguna dalam Dunia yang Hilang ini. Hanya satu dua yang terlihat bercengkerama lirih menunggu datangnya lelap.
Seperti halnya aku, dengan menyebut Nama-Nya ku bersiap menuju alam mimpi, saat-saat indah dalam Pondok kami, saat mata terpejam sejenak, melepas segala beban, berlari menari dalam indah imaji, sebelum dentang fajar membuka realita. Seperti kemarin.
Ditengah terik kami semua berkeliaran, seperti kumpulan ternak yang berputar-putar dalam areal berpagar, mencari kesibukan tak berguna atau juga merenungi keadaan, menanti saat kami diberi makan atau dipanggil ke Aula depan jika ada sanak yang bertandang.
Madun memanggilku yang sedang sibuk berkeliling mencari dan memunguti sisa-sia potongan tembakau disekitar beranda kamar. Aku pun bergegas mendekat. Kulihat wajahnya begitu berbinar sambil menenteng sebungkus yang agak berat juga rupanya.
"Mak dan Istriku datang," katanya bersemangat
"Kau dapat banyak hari ini,?" tanya Madun sambil terus berjalan menuju tengah kamar. kami pun duduk berhadapan.
"Lumayan lah, digulung lagi bisa jadi empat batang." kataku sambil membuka genggam kiri yang hampir penuh sisa-sisa puntung itu.
"Makan enak nih kita hari ini, skali-skali bukan lagi nasi bau apek" bungkusan itupun dibukanya, terlihat gunungan-gunungan kecil berbalut daun pisang beraroma nasi punel yang menggiurkan, aroma yang langka di Pondok kami.
"Aku nasi jagung nya, resep khusus dari mak, kamu yang nasi putih."
"Boleh-boleh..., Es teh nya mana,?"
"Ketinggalan di Warkop." Madun asal jawab sambil gigi-ginya terus bekerja dengan penuh semangat.
Kami berdua tertawa riang, didukung beberapa penghuni lain yang tanpa dikomando langsung mendekat, jongkok, dan ikut berpartisipasi melahap hidangan super lezat di siang itu.
Waktu terasa kian lambat bergulir dan mengikisku dalam Dunia yang hilang ini. Dalam penantian dan harapan,sebuah konsekuensi yang harus kujalani, hukuman akibat perbuatan, yang menyeretku ke dalam lembah yang tak mengenal lagi harga diri, merasakan kepedihan, terasing dari gemerlap dunia luar, berkecimpung dalam wadah hitam yang dipenuhi kenistaan, uang berpengaruh besar disini, meskipun kami semua tak mampu lagi mencarinya, hanya mengharap dan merepotkan sanak keluarga untuk terus mengeluarkan biaya, sekedar menjenguk saja harus sedia biaya, betapa tidak, tiap menit yang dihabiskan agar kami dan sanak keluarga bisa bertemu di Aula depan terus menambah jumlah angka rupiah bak Speedo Argo taksi yang sedang berjalan, segelintir perilaku petugas penegak keadilan yang mata duitan semakin menambah beban kami dengan berbagai pungli nya, belum lagi harga sabun, rokok ataupun kebutuhan sepele sehari-hari yang disediakan kantin koperasi melipat-lipat naik ke puncak daripada harga pasaran diluar sana. Kesehatan ? jauh-jauh sudah dari kata sehat, klinik yang disediakan ala kadarnya, yang sakit batuk ataupun sakit perut obatnya sama, obat jatah. Apa mau dikata, inilah fungsi Penjara didirikan sejak dulu kala, sebagai peringatan agar yang terlanjur salah jalan tak lagi mengulanginya.
Mengapa aku sampai di tempat ini? sesuatu yang tak pernah terbayang sekalipun sebelumnya. Saat diriku terjepit dalam posisi serba rumit, orang tua ku yang papah di kampung menggantungkan sebagian beban hidup mereka kepadaku yang baru saja menjalin bahtera rumah tangga. Siapa yang patut disalahkan? Tidak ada, cukup aku yang berbuat salah, salah jalan, menggelapkan dana perusahaan tempat ku mencari nafkah demi memberi setetes balas budi kepada bapak ibu dan adik-adik ku yang hidup serba kekurangan. Apakah mereka tahu yang kuberikan kepada mereka adalah uang haram? mereka tidak tahu.. bahkan mereka tidak pernah meminta.. hanya aku yang terlalu iba mendengar keluh kesah mereka, meski aku sendiri sebenarnya tak mampu menyisihkan sebagian gaji ku untuk membantu mereka.
Di sisi lain belahan jiwaku sedang menikmati masa-masa indah menanti kehadiran malaikat kecil kami.
Aku pasrah dengan rentetan proses hukum yang menjejaliku. Megah ruang sidang jadi saksi bisu saat seorang perempuan muda dengan perut membuncit menjadi penonton setia tiap kali aku duduk di kursi pesakitan, episode demi episode. Perempuan yang tahun kemarin berharap banyak agar aku bisa membahagiakan hidup dengan mendampinginya. Nasi sudah menjadi bubur, Ketuk palu hakim menjadikan perempuan itu menanti lahirnya jabang bayi seorang diri, lara antara hidup dan mati, tanpa aku, seorang suami yang tak berbudi.
Pondok kami, persinggahanku dalam pencarian jati diri, tempat merenungi segala kekhilafan, berupaya menjadi putih kembali. Telah kulahap pahit getir sepenggal kisah hidupku disini. Bersama ratusan wajah-wajah yang pernah khilaf pula, aku mencoba bersyukur, masih ada esok, esok yang lebih cerah. Tak Seperti Kemarin.
Kuucapkan selamat tinggal kepada segenap beban, kawan-kawan sepersinggahan, para abdi negara yang menjalankan kewajiban.
Pondok kami, yang telah menempa bathin dan mental serta sebingkai pelajaran.
Aku tak kan lagi tinggal, hingga sepantasnya kalian semua kutinggalkan. Menuju hari esok yang lebih baik dalam hidupku yang normal. Dimana aku bersumpah tak kan kuketuk lagi pintu Pondok kami.
Seperti Kemarin.
Seperti Kemarin, saat aku berjumpa denganmu kawan....
Cerpen by
Eko Candra Ristianto
Eko Candra Ristianto
Weleh-weleh-weleh gak nyangka pas disalin disini panjang nya jadi kayak gini...
Nah selesai sudah saya menyalin hasil karya yang dibuang sayang, disimpan juga enggan.
Kurang lebihnya saya mohon maaf bila artikel kali ini kurang bermanfaat bagi Sobat-sobat ku yang mampir disini...
bagus juga cerpennya sob....
ReplyDeletesekalian pertamax nih disini ... :D
hhehe, mungkin belum beruntung, padahal bagus ni curhatannya :D
ReplyDeleteSobat @ Shinobi :
ReplyDeleteThanks dah hadir, baru ini lho ada yg bilang bagus hahahaha ,....
Tetap semangat... terus berkreasi and Happy Blogging Sobat
Sobat @ C-Ardha ;
ReplyDeleteThanks Supportnya Sobat.., y pengennya sih belajar biar bisa kyk J.K Rowling yg gak punya Ilmu Sihir tapi mampu menciptakan penggambaran dunia sihir yang hebat
Happy Blogging
bagus cerpennya sob, coba jangan kirim ke 1 surat kabar, kirim juga ke surat kabar lain, mereka pasti punya pertimbangan yang berbeda :)
ReplyDeletenyimak gan...
ReplyDeleteSobat @ Rouen : Thanks kedatangan + commentnya, saran yang patut dicoba Sobat, makasih makasih makasih supportnya
ReplyDeleteSobat @ Nini : Silahkan Non... :)) Thx y
puisi yg sangat indah sobat, :)
ReplyDeletebagus cerpennya, kalau baru satu kali ditolak jangan putus asa sob, coba buat cerpen lagi dan kirim lagi cerpennya, atau kalau bisa jangan dikirm ke 1 surat kabar saja, semoga sukses yach
ReplyDeleteJangan putus asa sob, itu jdikan motivasi aja buat terus berkreasi,
ReplyDeleteSemoga sukses
bagus gan ceritanya :)
ReplyDeleteFor @ All Sobat2 q :
ReplyDeletethanks dah pada mampir dan kasih support disini
mari terus berkarya..tambah semangat berkreasi and Happy Blogging for All
sama-sama gan :) salam blogger :D
ReplyDeleteWuuih,,, Cerpennya MANTAAFF BGT Sam!!!
ReplyDeleteCeritanya emang rada menyedihkan & memilukan siy.. NAsip Seorang Napi yg menjalani hari2 diBui.. yg terpaksa tak bisa mendampingi Istri & memeluk sang bayi.. kayaknya Ceritanya seperti NYATA!!
Anda ternyata punya bakat yg Luar biasa tuh Sam... gak semua Orang bisa membuat Cerpen kayak gitu Lo,, SALUT!!!
Kembangkan terus Bakatmu Sam.. siapa tau esok jadi Karya yg Fenomenal!!!
Amin,,
jangan hanya stu media kirimnya, mungkin di media lain bisa diterima.Semangat!
ReplyDeleteSobat @ BagiBagiBlog :
ReplyDeleteMatur Nuwun sanget Sam atas sgala supportnya
setiap qta pasti pny bakat masing2 yang kadang blom nemuin wadah dan sarana yang tepat untuk mencurahkan ekspresi
Mungkin dengan bergelut dalam Dunia Blogging qta bisa sama2 saling support u/ terus berkarya..
Salam Satoe Djiwa
Happy Blogging Sobat...
Sobat @ AJe :
ReplyDeleteThanks atas kehadiran, comment dan sarannya
Happy Blogging sobat
Wah.. mantap gan cerpen'nya... sampai 2x saya ikut terbawa alur ceritanya..
ReplyDeleteKeluh kesah seorang NAPI..
Support cerpen'nya gan..!!
Sukses...
Sobat @ Asli Urang Banua :
ReplyDeleteThanks visit and Supportnya Sobat
Selamat pagi gan,, Kunjungan balik. Have a nice day.. :)
ReplyDeleteSangat inspiratif sekali.... memang tulisan begini dibuang sayang....
ReplyDeleteCerpennya bagus sob
ReplyDeleteSalam kenal
sabar ya gan
ReplyDeletemasa enggan nyimpennya sih?
ReplyDeletesimpen aja siapa tau dimasa yg akan dtg jd tenar..
seeef gan cerpennya.....sukses gan
ReplyDeleteididididih,,,, mantab euy,,, yang ga laku aja begitu :D yang laku ky gimana???
ReplyDeleteSobat @ Wahyu Susanto :
ReplyDeleteThanks atas kehadirannya Sobat..
Sobat @ Unggul, @ Shear, @ 4JIE, @ Gang Tutorial :
Thanks bgt atas sgala supportnya Sobat2q smua
Sobat @ Save & Sex :
thank atas atensinya Sobat, tapi emang bener blom ada yg laku...hihihi tpi hrs tetep semangaaaaaaat..
Happy Blogging Sobat2 q
kisah di dalam bui yang menggugah rasa :)
ReplyDelete... kenapa sampe nggak dimuat ya?
ReplyDeletepadahal itu cerpen sangat bagus, enak dibaca pula.
thanks sob, telah ikutan membaca karyamu .
... nice post !
met pagi, sambil nyimak :)
ReplyDeletekeren kok sob.....
ReplyDeleteSobat @ BlogS of Hariyanto :
ReplyDeleteShare yg mudah2 an menginspirasi Sobat2 semua u/ semangat berkreasi dalam dunia Blogging
Thanks komengnya Sob :)
Sobat @ Cygnus :
Y namanya jg masih amatiran nie Sob..
thanks dah ngikut nyimak disini :)
Sobat @ Cahaya :
Happy Blogging Sobat :)
Sobat @ Info Kita :
Wah.. makasih lhu Sob atas supportnya :)
jangan menyerah gan, terus berkarya
ReplyDeletejelek bagusnya tergantung kita berani mencobalagi dan lagi hingga tercapai yang dicita2kan
happy blogging sob
Sobat @ Royan Sableng :
ReplyDeleteSiapppp Mas Bro
Qta musti tetepp Semangat....
Thanks lhuuu dah Support kemari
Happy Blogging